Kajian Penerapan Metode Biaya dan Metode Ekuitas
dalam Kaitannya dengan Perpajakan  
“ Sering terjadi kesalahpahaman antara Wajib Pajak (WP) dan aparatur pajak (fiskus) berkaitan dengan
adanya penghasilan dari investasi, yang oleh WP dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sebagai bukan obyek Pajak Penghasilan (PPh) karena semata-mata pengakuan penghasilan tersebut sebagai akibat menerapkan akuntansi metode ekuitas. Sedangkan disisi lain fiskus berpendapat bahwa penghasilan tersebut adalah obyek pajak penghasilan (dividen) karena memenuhi Pasal 4 ayat 1 UU PPh.”

Permasalahan diatas mungkin kita alami dalam praktik, dan ini bisa menyebabkan terjadinya sengketa pajak antara WP dan fiskus karena terjadinya perbedaan penafsiran. Oleh karena itulah penulis mencoba mengulas mengenai akuntansi untuk investasi berkenaan dengan metode ekuitas dan metode biaya serta kaitannya dalam perpajakan.
Sebuah perusahaan didirikan dengan tujuan untuk memperoleh laba, meskipun ada bentuk usaha yang berorientasi non laba. Jenis usaha yang dilakukan perusahaan dibagi menjadi dua, yaitu usaha aktif dan usaha pasif. Usaha aktif seperti memproduksi barang, perdagangan dan pemberian jasa. Sementara usaha pasif adalah aktifitas bisnis yang tidak memerlukan kegiatan aktif, usaha pasif umumnya berupa investasi. Investasi terdiri dari beragam jenis, mulai dari property, emas, instrumen keuangan, kontrak berjangka dan lainnya. Namun investasi yang umum dan dipercaya memberikan return yang tinggi adalah pada instrumen keuangan berupa saham dan obligasi, meski saat ini akibat dari krisis yang melanda Amerika menyebabkan merosotnya transaksi saham, dan hampir semua nilai saham terkoreksi menjadi lebih rendah dari kondisi yang normal.
Suatu perusahaan dalam kegiatannya harus mengikuti beberapa aturan, diantaranya aturan bisnis, pajak, akuntansi, deperindag, bapepam dll. Namun dari aturan tersebut yang paling umum adalah aturan dari pajak dan akuntansi. Karena pajak sebagai bentuk kewajiban kepada pemerintah dan akuntansi adalah sarana pelaporan keuangan yang lazim dalam praktik bisnis.
Untuk usaha pasif yang berupa investasi memiliki karakteristik dan pengaturan khusus baik dari sisi pajak maupun akuntansi. Pengaturan khusus diperlukan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas investasi yang dilakukan oleh investor kepada pemegang saham, pemerintah dan masyarakat umum.
Untuk akuntansi investasi yang dikenal secara umum adalah metode biaya dan metode ekuitas dimana kedua metode tersebut memiliki aturan yang berbeda dan tentunya akan mempengaruhi pelaporan pajak atas investasi yang dilakukan oleh investor.

A.        Metode Biaya dan Metode Ekuitas
Dalam akuntansi dikenal dua metode pencatatan investasi, yaitu metode biaya (cost method) dan metode ekuitas (equity method), adalah sebagai berikut :  
1.          Metode biaya adalah metode pencatatan investasi yang pada awal perolehan investasi, investor mencatat investasi sebesar biayanya (historical cost accounting), dividen maupun distribusi laba dicatat sebagai penghasilan, namun apabila dividen yang diterima melebihi bagian investor atas laba investee dipandang sebagai pemulihan investasi dan dicatat sebagai pengurang investasi sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 13 tentang Akuntansi untuk Investasi. Secara akuntansi, metode biaya harus diterapkan oleh investor yang memiliki saham berhak suara pada perusahaan lain (investee) baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan kepemilikan kurang dari 20%.
2.          Metode ekuitas adalah metode pencatatan investasi yang pada awal perolehan investor mencatat investasi sebesar biayanya, dividen maupun distribusi laba dicatat sebagai pengurang akun investasi. Nilai investasi ditambah atau dikurangi dengan bagian laba/rugi investor pada perusahaan asosiasi[1] setelah tanggal perolehan. Untuk investasi dalam perusahaan asosiasi diatur dalam PSAK No. 15 tentang Akuntansi untuk Investasi dalam Perusahaan Asosiasi. Metode ekuitas harus diterapkan oleh investor yang memiliki saham berhak suara pada perusahaan investee baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kepemilikan 20% atau lebih.  
Dengan kepemilikan 20% atau lebih, secara akuntansi investor dianggap memiliki pengaruh yang signifikan pada investee, oleh karena itu pengakuan penghasilan berdasarkan dividen yang diterima tidak dapat digunakan sebagai ukuran yang memadai untuk merefleksikan penghasilan yang diperoleh investor dari investasi dalam investee karena distribusi yang diterima tersebut hampir tidak ada hubungannya dengan kinerja investee. Mengingat pengaruh yang signifikan terhadap investee, investor memiliki tolok ukur atas kinerja investee, yaitu imbalan investasi (return on investment). Investor melaksanakan tanggung jawab ini dengan memperluas lingkup laporan keuangan konsolidasi sehingga mencakup bagiannya atas hasil usaha investee dan dengan demikian menyediakan analisis terhadap penghasilan serta investasi sehingga rasio yang lebih relevan dapat dihitung. Dengan demikian, penerapan metode ekuitas memungkinkan pelaporan aktiva bersih dan penghasilan bersih oleh investor dengan lebih informatif.

Akuntansi metode ekuitas dan metode biaya adalah metode akuntansi untuk investasi yang harus digunakan oleh investor tergantung dari porsi kepemilikan pada perusahaan investee.

B.        Penerapan Metode Biaya dan Metode Ekuitas
Untuk memudahkan pemahaman tentang metode biaya dan metode ekuitas diatas, maka dibawah ini diberikan ilustrasi sebagai berikut :
1.     Metode Biaya
PT. A (investor) membeli Rp. 150.000.000,- untuk 15.000 lembar saham (15%) saham berhak suara PT. B (investee). Pada tangal pelaporan keuangan (umumnya tgl.31 des) PT B memperoleh laba Rp. 50.000.000.- dan PT. B membagikan dividen sebesar Rp. 40.000.000,-.
Dengan kepemilikan 15% (kurang dari 20%), maka secara akuntansi PT. A wajib menggunakan metode biaya untuk mempertanggungjawabkan investasinya, jurnal yang dibuat investor (PT.A) adalah sebagai berikut :  
a.      Pada saat perolehan investasi
 Investasi pada PT.B                                     Rp. 150.000.000
Kas/bank                                                                               Rp. 150.000.000
                      (jurnal untuk mencatat investasi 15% saham PT.B)
b.      Pada saat PT.B memperoleh laba
 -tidak ada jurnal-
c.      Pada saat PT. B membagikan dividen
 Kas/Bank                                                       Rp.    6.000.000
                       Penghasilan Dividen                                                          Rp.    6.000.000
            (jurnal untuk mengakui penerimaan dividen dari PT.B, (15% X Rp.40.000.000 = Rp. 6.000.000))
                PT. A harus mengakui penghasilan dividen dari PT.B sebesar Rp. 6.000.000,- dalam laporan laba rugi, Untuk investasi dilaporkan dalam neraca dan disajikan sebagai aktiva lancar atau aktiva tidak lancar tergantung dari jenis investasinya, juga perlu diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan tentang investasi yang dilakukan pada PT.B.

2.     Metode Ekuitas
PT. A (investor) membeli Rp. 300.000.000,- untuk 30.000 lembar saham (30%) saham berhak suara PT. B (investee). Pada tangal pelaporan keuangan (umumnya tgl.31 des) PT B memperoleh laba Rp. 50.000.000.- dan PT. B membagikan dividen sebesar Rp. 40.000.000,-.
Dengan kepemilikan 30% (lebih dari 20%), maka secara akuntansi PT. A wajib menggunakan metode ekuitas untuk mempertanggungjawabkan investasinya. Jurnal yang dibuat oleh investor (PT.A) adalah sebagai berikut :
a.      Pada saat perolehan investasi
 Investasi pada PT.B                                     Rp.  300.000.000
Kas/bank                                                                               Rp.  300.000.000
                       (jurnal untuk mencatat investasi 30% saham PT.B)
b.      Pada saat PT.B memperoleh laba
 Investasi pada PT.B                                     Rp.   15.000.000
               Penghasilan Investasi dari PT.B                                      Rp.   15.000.000
     (jurnal untuk mengakui bagian PT.A atas laba PT.B (30% X Rp. 50.00.000 = Rp. 15.000.000))
c.      Pada saat PT. B membagikan dividen
 Kas/Bank                                                       Rp.    12.000.000
                       Investasi pada PT.B                                                            Rp.    12.000.000
             (jurnal untuk mengakui penerimaan dividen dari PT.B (30% X Rp.40.000.000))


PT. A harus mengakui penghasilan dari PT. B sebesar Rp. 15.000.000,- dalam laporan laba rugi, dalam neraca untuk investasi dengan metode ekuitas harus disajikan sebagai aktiva jangka panjang dan diungkapkan dalam pos terpisah dalam neraca. Dan pengungkapan dalam catatan atas laporan keuangan untuk daftar perusahaan investasi.

C.        Pajak Atas Dividen
Dalam perpajakan, sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 huruf g UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh (UU PPh) disebutkan bahwa yang menjadi obyek penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan WP yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk ;
“…g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;…..”
Dalam memori penjelasan huruf g. tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa :
“dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk pengertian dividen adalah : 1. Pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;.….”
Untuk dividen tertentu adalah bukan merupakan obyek pajak penghasilan seperti yang diatur  dalam Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh disebutkan bahwa yang tidak termasuk obyek pajak adalah :
“dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1.     dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2.     bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;.….”
Atas dividen tersebut, sesuai dengan pasal 23 UU PPh harus dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkannya sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :
1.     Dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 huruf g.
dividen terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dulu. Hal ini sesuai dengan pasal 8 PP No.138 tahun 2000.

D.        Pengaruh Penerapan Metode Biaya dan Metode Ekuitas dalam Perpajakan
Adanya pengakuan penghasilan investasi oleh investor yang menerapkan metode ekuitas kedalam laporan laba rugi yang menjadi lampiran SPT Tahunan terkadang bisa memicu terjadinya penafsiran yang berbeda. Atas penghasilan ini akan dianggap sebagai dividen dalam arti yang luas, yakni sesuai Pasal 4 ayat 1 huruf g, yakni pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Apabila dicermati istilah “pembagian laba” yang seharusnya harus dilihat dari sisi pihak yang membagikan laba, yakni investee. Dari sisi investee yang terjadi adalah tidak ada pembagian laba, pengakuan penghasilan oleh investor adalah pengakuan sepihak secara akuntansi karena menerapkan metode ekuitas, dan sebenarnya dari sisi investor juga tidak ada laba yang diterima dari investee.
Jika penghasilan investasi ini dianggap sebagai obyek PPh berupa dividen oleh investor maka investee harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas dividen. Pemotongan PPh Pasal 23 diatur dalam SE-12/PJ.43/1993 tentang PPh Pasal 23/26 atas Pembayaran Dividen atau Bagian Keuntungan dari Perseroan Dalam Negeri yang menyatakan bahwa saat terutang PPh Pasal 23 atas dividen adalah pada saat ditentukan dalam RUPS/dilakukan pengumuman pembagian dividen/dibagikannya dividen. Sedangkan saat terutang PPh bagi perusahaan yang go publik adalah tidak menggunakan saat ditentukan dalam RUPS karena sifat saham yang diperjual belikan dibursa masih berubah-ubah kepemilikannya sehingga ketika RUPS belum diketahahui pemilik saham yang berhak atas dividen. Oleh karena itu digunakan “recording date” yaitu tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen sebagai saat terutang PPh bagi perusahaan investee yang go publik.
Jika merujuk pada istilah “terutang” yang ditegaskan dalam S-1150/PJ.22/1985, S-1506/PJ.22/1985 dan SE-16/PJ.22/1987 dijelaskan bahwa pengertian terutang harus dikaitkan dengan pembukuan yang dianut oleh pemotong pajak (investee). Dalam kasus metode ekuitas, apabila investee menggunakan akrual basis, maka terutang PPh adalah pada saat dicatat utang dividen, dan apabila menggunakan metode cash basis maka terutang PPh adalah pada saat dividen dibagikan kepada investor. Pada saat investor mengakui penghasilan investasi pada kasus metode ekuitas diatas disisi investee adalah bukan merupakan saat terutang PPh Pasal 23 atas dividen, sehingga tidak bisa dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.
Dalam S-168/PJ.312/2003 tentang metode pencatatan pembukuan juga ditegaskan berkaitan dengan metode ekuitas, bahwa UU PPh menganut asas realisasi, dan realisasi dividen terjadi setelah ada keputusan dari RUPS mengenai pembagian laba berupa dividen. Pembukuan investasi berdasarkan metode ekuitas hanya berlaku untuk pembukuan komersial yang tidak berpengaruh pada pengakuan penghasilan dan biaya/kerugian untuk tujuan perpajakan.
Dengan demikian apabila investor mengakui penghasilan investasi karena menerapkan metode ekuitas adalah bukan merupakan penghasilan dividen dari sisi investor, dan bukan merupakan saat terutang PPh pasal 23 atas dividen disisi investee. Penghasilan dividen secara pajak adalah pada saat investee melakukan pengumuman pembagian dividen kepada investor. Dan saat itu investee juga melakukan pemotongan PPh pasal 23 atas dividen yang diikuti dengan penerbitan bukti potong PPh Pasal 23 atas dividen.
Dengan demikian ketika ada pengakuan penghasilan investasi oleh WP investor karena menerapkan metode ekuitas maupun metode biaya, maka perlakuan pelaporan perpajakan yang semestinya dilakukan oleh investor adalah sebagai berikut :
1.       Apabila WP investor menggunakan metode biaya (penyertaan pada investee kurang dari 20%) maka WP Investor tidak perlu melakukan koreksi fiskal, kemudian penghasilan dividen dipotong PPh pasal 23 oleh investee dan atas penghasilan dividen ini dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh  investor sebagai obyek pajak penghasilan.
2.       Apabila WP investor menggunakan metode ekuitas (penyertaan pada investee 20% atau lebih) maka WP perlu melakukan koreksi fiskal sebagai berikut :
a.       Pada saat investor mencatat penghasilan dari investasi karena mengakui bagian laba investee yang menjadi bagiannya, maka dilakukan koreksi fiskal negatif atas penghasilan tersebut karena penghasilan tersebut adalah bukan merupakan obyek pajak penghasilan menurut UU PPh.
b.       Pada saat investor menerima dividen dari investee, investor mencatat penerimaan dividen tersebut sebagai penggurang akun investasi (akun investasi dikredit, lihat ilustrasi metode ekuitas point c.), Karena penghasilan tersebut belum diakui dalam pembukuan WP maka dilakukan koreksi fiskal positif untuk mengakui adanya penghasilan dividen dari investee.
3.       Apabila WP investor menggunakan metode ekuitas (penyertaan pada investee 25% atau lebih dan memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh) maka WP memperlakukannya sebagai berikut :
a.     Pada saat investor mencatat penghasilan dari investasi karena mengakui bagian laba investee yang menjadi bagiannya, maka dilakukan koreksi fiskal negatif atas penghasilan tersebut.
b.     Pada saat investor menerima dividen dari investee, maka perusahaan investor melaporkan dividen tersebut dalam SPT Tahunan PPh kedalam kelompok penghasilan yang bukan obyek PPh.
4.       Apabila WP investor menggunakan metode ekuitas (penyertaan pada investee 25% atau lebih, namun tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh) maka perlakuan pajaknya adalah sebagaimana dijelaskan pada penjelasan nomor 2 diatas.


□□□
Penulis : Andrianto,SE *)



DAFTAR BACAAN


Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Peraturan Pemerintah No. 138 tahun 2000 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.16/PJ.22/1987 tentang Pengertian “Terhutang” yang dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 26 UU Pajak Penghasilan 1984.
Surat Direktur Jenderal Pajak No.S-168/PJ.312/2003 tentang Metode Pencatatan Pembukuan
Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-1506/PJ.22/1985 tentang Penegasan Lebih Lanjut atas PPh Pasal 23
Surat Direktur Jenderal Pajak No.S-1150/PJ.22/1985 tentang Potongan PPh Pasal 23
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.SE-12/PJ.43/1993 tentang PPh Pasal 23/Pasal 26 atas Pembayaran Dividen atau Bagian Keuntungan dari Perseroan Dalam Negeri.
Ikatan Akuntan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 1995.










[1] Istilah perusahaan asosiasi digunakan untuk menggambarkan suatu perusahaan dimana investornya memiliki pengaruh yang signifikan, secara umum istilah perusahaan asosiasi adalah sama dengan investee. Selanjutnya akan digunakan istilah investee untuk menyebut perusahaan tempat investor menempatkan investasinya. 

2 comments:

Anonymous said...

Terimakasih atas infonya, sangat berguna skali

Anonymous said...

thanks a lot!