PERLUKAH DJP MENJADI BADAN PAJAK?
  
Pajak adalah komponen penerimaan terbesar dalam struktur APBN, pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang menopang pembiayaan negara. Tugas untuk menghimpun penerimaan pajak dibebankan kepada Direktorat JenderalPajak (DJP) yang berada dibawah Kementerian Keuangan RI. Tahun 2010 penerimaan pajak dalam APBN-P ditargetkan Rp. 743,3 triliun yang memberikan kontribusi 75% pada APBN. Di tahun 2011 diharapkan bisa memberikan kontribusi Rp. 850,3 triliun atau 77% dari APBN. 


Penerimaan pajak tahun 2000-2004 mencapai Rp. 1.034,1 triliun dan melonjak dua kali lipat dikurun waktu 2005-2009 menjadi sebesar Rp. 2.525,8 triliun dengan rata-rata pertumbuhan penerimaan mencapai 15.6% (detik finance).Peningkatan penerimaan ini merupakan hasil dari reformasi birokrasi yang sejatinya dilakukan sejak tahun 2002 dengan pembentukan kantor Wajib Pajak Besar (Large Taxpayer Office/LTO).

Reformasi birokrasi di DJP terus berjalan, meskipun sorotan, kritik dan hujatan tajam sempat mewarnai DJP akhir-akhir ini seiring dengan adanya kasus-kasus pajak, kepercayaan masyarakat pada DJP telah luntur oleh kasus gayus, yang disinyalir memiliki kekayaan 100 miliar rupiah yang didapatkan dari selama bekerja di pajak, meski belum mendapatkan keputusan hukum yang bersifat tetap, namun justifikasi masyarakat telah memvonis bahwa DJP bobrok, sampai-sampai halte kantor pusat DJP telah berubah nama menjadi halte gayus, kasus tersebut telah diproses secara hukum, namun efek gayus tersebut telah membuat pandangan seluruh orang pajak adalah gayus, dan seluruh orang pajak harus memberikan pengertian ke semua orang bahwa tidak semua orang pajak adalah gayus, kasus 100 miliar rupiah membahayakan hampir 1000 triliun penerimaan pajak. Kenapa demikian? Kasus tersebut telah membuat seluruh orang pajak resah, karena bola opini yang bergulir mengarah untuk mencabut  remunerasi pegawai DJP, namun banyak dukungan mengalir bahwa remunerasi tetap dipertahankan. Secercah harapan timbul, dan orang pajak kembali berdiri dengan kepala tegak untuk bekerja maksimal, orang pajak harus kuat, DJP harus kuat, karenanya negara akan kuat. Reformasi birokrasi telah membuat DJP menjadi lebih baik dan profesional. Namun, reformasi birokrasi baru dimulai, reformasi ini masih menyentuh masalah sistem administrasi dan remunerasi, dan belum mengarah pada pembenahan struktur kelembagaan dari DJP. Seperti kita ketahui DJP masih berada dibawah Kementerian Keuangan, yang tentu saja masih belum terbebas dari intervensi kepentingan pemerintah, sistem politik maupun kepentingan pihak lain. Perubahan struktur DJP diisyaratkan Menteri Keuangan dengan mengalihkan struktur pembuat peraturan/kebijakan fiskal kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang berada dibawah Kementerian Keuangan. Hal ini dilakukan untuk mengalihkan sebagian tugas DJP kepada Badan lain, ini didasarkan pada pertimbangan agar DJP lebih berkonsentrasi kepada pelayanan dan menghimpun penerimaan pajak, selain itu juga untuk membatasi kewenangan DJP yang dianggap sangat besar. Namun, apakah hal ini akan efektif? Apabila DJP dan BKF bisa bersinergi tentu sangat efektif, tetapi apabila kedua lembaga ini tidak harmonis, maka pengalihan pembuat peraturan ke BKF malah bisa menjadi masalah baru, hal ini akan berpengaruh pada proses menghimpun penerimaan negara. Sementara itu, independensi dari BKF sendiri tidak bisa dijamin penuh karena masih berada dibawah Kementerian Keuangan sehingga masih dimungkinkan mendapatkan intervensi dari pemerintah. Menurut pendapat saya, untuk fully professional DJP harus diindependenkan dengan dijadikan badan yang terpisah dari pemerintah, dan langsung bertanggungjawab kepada rakyat melalui DPR. DJP dijadikan Badan Pajak yang secara struktur kelembagaan berada diluar Kementerian Keuangan bahkan di luar pemerintah.

Badan Pajak
Wacana DJP menjadi Badan Pajak sudah lama mengemuka, bila berkaca pada negara maju seperti Amerika, Australia dan negara maju lainnya, posisi seperti DJP memang berada dibawah Kementerian Keuangan seperti posisi DJP saat ini , wacana meng-independen-kan pajak juga pernah terjadi di Amerika, sebagaimana di-testimonikan oleh Margaret Milner Richardson di Senat Komite Keuangan. Hal ini mengisyaratkan bahwa negara maju-pundan Badan sekelas IRS yang dipandang luar biasa masih dirasakan perlu untuk dijadikan Badan tersendiri yang bebas dari intervensi.

Dengan menjadi Badan Pajak, maka DJP tidak lagi berada dibawah Kementerian Keuangan melainkan menjadi Badan/Lembaga Negara yang independen yang terpisah dari Pemerintah, seperti halnya Bank Indonesia (BI) maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Independen membawa konsekuensi yuridis logis bahwa Badan Pajak memiliki kewenangan merombak struktur, anggaran, dan SDM terutama penunjukan top management level kakanwil sampai direktur,  serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan fiskal yang efektif dan efisien dalam sistem fiskal yang sehat, transparan, terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, dengan demikian fungsi pembuat peraturan pajak masih dipegang oleh Badan Pajak. Sementara itu, disisi lain Badan Pajak tersebut memiliki independensi yang bebas dari intervensi kepentingan pemerintah, politik, dan kepentingan pihak tertentu, dengan terbebas dari intervensi maka sistem administrasi akan berjalan secara efektif dan efisien sehingga menghasilkan sistem administrasi pajak berkualitas tinggi yang memuaskan Wajib Pajak dan mampu memberikan kontribusi pajak yang tinggi untuk pembiayaan APBN yang mandiri. Pembentukan badan pajak tentunya harus diimbangi dengan adanya mekanisme pengawasan yang memadai, bisa dilakukan oleh badan pengawas internal Badan Pajak maupun audit BPK, pengawasan ini perlu dillakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Hambatan
Untuk mewujudkan DJP menjadi Badan Pajak tentu akan melalui proses panjang dan berat, karena DJP harus mendapatkan restu dari pemerintah dan restu dari DPR. Seyogyanya Badan Pajak membantu peran Pemerintah untuk menghimpun penerimaan negara, akan tetapi kewenangan Pemerintah khususnya Menteri Keuangan akan berkurang, saat ini Menteri Keuangan memiliki kewenangan dibidang keuangan dan fiskal, yang nantinya kewenangan tersebut dibagi kepada Badan Pajak untuk kewenangan di bidang fiskal sehingga domain Menteri Keuangan berkonsentrasi ke bidang keuangan saja.Periode yang paling sulit adalah mendapatkan restu dari DPR sebagai wakil dari rakyat. Pembentukan Badan Pajak menyiratkan bahwa pajak tidak bisa diintervensi yang artinya tidak ada pihak lain yang bisa intervensi kepada Badan Pajak tentu hal ini menjadi pertimbangan DPR untuk memberikan persetujuannya. Proses dengan DPR inilah yang akan panjang sebagaimana halnya ketika BI di-independen-kan di tahun 1999.

Badan pajak merupakan sebuah opsi yang perlu dikaji secara serius oleh pimpinan DJP dan jajarannya, karena dengan independen maka persoalan pajak hanya menjadi domain dari Badan Pajak, pihak-pihak diluar Badan Pajak tidak bisa mengintervensi kebijakan dan pelaksanaan pengumpulan penerimaan negara, sehingga diharapkan Badan Pajak bisa bekerja secara maksimal untuk menghimpun penerimaan negara disektor pajak.

3 comments:

dew said...

Sejak tahun 2009, tugas DJP menjadi: merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Jadi sudah tidak bertugas menghimpun penerimaan pajak.

YA said...

Sudah saatnya DJP menjadi badan independen yang dijalankan dengan manajemen yang profesional

Unknown said...

sudah seharusnyan masyarakat menghilangkan image tentang membayar pajak adalah gayus.